Tiga Hal Ini Penyebab NU dan Wahhabi Tak Bisa Bersatu

Sudah lumrah diketahui khalayak, dan kini telah menjadi kian biasa terdengar oleh kita, sebutan NU dan Wahhabi. Kedua lebel atau atribut ini walau pun tidak benar secara Syar’i dijadikan sebagai bahan Tanabuz Bil Alqab (saling menjuluki dengan keburukan), namun sudah sangat menjadi penomenal di masyarakat  dan kian mengacu ke arah perpecahan.

Perpecahan itu pelak tak bisa dihindari, perebutan status hakiki sebagai ASWAJA pun kian memanas, mulai dari debat ilmiyyah sampai debat kusir telah banyak dihelat, baik secara bermajelis atau pun melalui medsos.

Lalu apakah sebenarnya inti dasar yang menjadi penyebab hal tersebut terjadi, di sini penulis – Semoga Allah mengampuni dan memberinya Hidayah – mencoba menyimpulkannya sesuai dengan keterbatasan yang ada.

  1. Tauhid Rububiyyah tidak cukup sebagai menjadikan seseeorang bertauhid dengan baik dan benar selama tidak mengamalkan mentauhidkan Allah dalam perkara Uluhiyyah.

Persoalan ini adalah dasar yang paling utama dibalik perseteruan yang terjadi anatara NU dan Wahhabi, perseteruan ini pun tak bisa terhindar dari terseretnya nama beberapa tokoh besar Islam, di antaranya Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab – Rahimahumallah – sebagaimana yang akan kami sebutkan setelah ini.

Wahhabi dengan mantap memandang bahwa Tauhid Rububiyyah bukanlah kunci dari sempurnanya ketauhidan seseorang, selama dia belum mentauhidkan Allah dalam Uluhiyyah maka orang tersebut adalah Jahiliyyah dan imannya sama dengan jenis imannya Abu Lahab. Sementara NU yang merupakan wujud dari perpanjangan madrasah Madzhab Syafi’iyyah dan Asya’irah – menurut klaim mereka – menentang hal tersebut dengan begitu keras, sehingga pendahulu mereka Sayyid Dahlan (mufti Mekkah di zamannya) menulis secara khusus untuk mendobrak konsep yang dipandang hak oleh Wahhabi. Di situlah perang telah lama berkecamuk.

Selama persoalan dasar ini tidak menemukan titik temu kesepahaman maka kedua pihak baik NU atau pun Wahhabi tidak akan pernah berhenti saling melempar tuduhan “Golongan Sesat” atau “Ahli Bid’ah” antara satu terhadap yang lainnya.

  1. Bid’ah Hasanah

Persoalan ini adalah dasar yang paling utama – setelah yang pertama di atas –  dibalik perseteruan yang terjadi anatara NU dan Wahhabi, perseteruan ini pun tak bisa terhindar dari terseretnya nama beberapa tokoh besar Islam, di antaranya Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab sebagaimana yang akan kami sebutkan setelah ini.

Wahhabi dengan mantap memandang bahwa tidak ada Bid’ah Hasanah dalam Islam, semua Bid’ah Sesat dan harus diingkari sebab dia lebih berbahaya dari dosa besar.

Sementara NU yang merupakan wujud dari perpanjangan madrasah Madzhab Syafi’iyyah dan Asya’irah – menurut klaim mereka – menentang hal tersebut dengan begitu keras, sehingga banyaklah tulisan yang ditulis secara khusus untuk mendobrak konsep yang dipandang hak oleh Wahhabi. Di situlah perang telah lama berkecamuk.

Selama persoalan dasar kedua ini tidak menemukan titik temu kesepahaman maka kedua pihak baik NU atau pun Wahhabi tidak akan pernah berhenti saling melempar tuduhan “Golongan Sesat” atau “Ahli Bid’ah” antara satu terhadap yang lainnya.

  1. Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab

Nama kedua tokoh besar ini muncul ke masyarakat sebagai imbas yang paling utama dari perbedaan pendapat yang pertama dan kedua di atas.

Wahhabi dengan mantap memandang bahwa kedua tokoh tersebut adalah sang pencerah Islam di eranya masing-masing dan sangat layak diterima pendapatnya selama tidak menyalahi Ijma’ dan dalil. namun kadang yang terjadi oleh sebagian person Wahhabi menjadi seolah semua pendapat harus ditimbang dengan kedua tokoh tersebut dan akhirnya tidak sedikit pendapat yang muncul selain dari kedua tokoh tersebut menjadi tertolak dan bahkan tak layak untuk didiskusikan, (tentunya ini dalam beberapa persoalan saja tidak semuanya.)

Sementara NU yang merupakan wujud dari perpanjangan madrasah Madzhab Syafi’iyyah dan Asya’irah – ini menurut klaim mereka – menentang hal tersebut dengan begitu keras, sehingga banyaklah tulisan yang ditulis secara khusus untuk meruntuhkan pendapat-pendapat kedua tokoh tersebut. namun kadang yang terjadi oleh sebagian oknum NU adalah tidak sedikit kebenaran mereka tolak apabila arah anginnya berasal dari Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin Abdil Wahhaab. Maka di situlah perang telah lama berkecamuk.

Selama persoalan ini tidak menemukan titik temu kesepahaman maka kedua pihak baik NU atau pun Wahhabi tidak akan pernah berhenti saling melempar tuduhan “Golongan Sesat” atau “Ahli Bid’ah” antara satu terhadap yang lainnya.

Note Kesepakatan 

Namun demikian, walau pun kedua golongan besar ini berselisih dan berbeda pendapat, namun pada hakikatnya mereka bersepakat bahwa Syirik adalah Dosa yang sangat besar dan Bid’ah adalah satu hal yang teramat mengerikan, dan mereka menyadari bahwa tidak ada Ulama yang luput dari kekeliruan dan kesalahan.

Ada baiknya di sini kita mengingat kembali ucapan Imam Malik yang sangat Masyhur yang maksudnya: “Setiap ucapan memiliki sifat dasar bisa diterima dan juga bisa ditolak kecuali Ucapan Sabda pemilik Kuburan Itu”.

Kyai Idrus Ramli Mengakui Pembagian Tauhid Menjadi Tiga

Niatnya hendak membantah pembagian Tauhid menjadi tiga, namun justru akhirnya secara tidak sadar dia telah menetapkan Iqtibas Imam Syafi’i tersebut adalah dalil atas ketetapan Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ Wash-Shifat.

Mari coba kita singkap keterpaksaan yang dibuat-buat oleh kyai yang satu ini yang telah dia posting melalui akun jejaring sosial Facebooknya.

Katanya : SUNNI: Kutipan dari Imam al-Syafi’i di atas justru bertentangan dengan tauhid tiga wahabi yang Anda bawakan. Anda juga telah mentahrif (melakukan distorsi) terhadap pernyataan Imam al-Syafi’i di atas. Berikut kami jelaskan bukti-bukti kesalahan Anda yang fatal dalam mengartikan perkataan Imam al-Syafi’i di atas.

Pertama, Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata:

اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلاَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّوْرَ

“Segala puji hanya bagi Allah yang menciptakan langit-langit dan bumi, dan menjadikan kegelapan dan cahaya”

Sebagaimana dimaklumi, perkataan al-Imam al-Syafi’i di atas adalah iqtibas (petikan) dari ayat al-Qur’an Surah al-An’am. Dalam ayat di atas, lafal Allah, yang berarti Uluhiyyah, dikaitkan dengan penciptaan langit-langit, bumi, kegelapan dan cahaya. Dengan demikian, seharusnya ayat tersebut dikaitkan dengan tauhid uluhiyyah, agar selaras dengan lafal Allah. Tetapi Anda dengan semborononya mengaitkannya dengan tauhid rububiyyah. Ini jelas kesalahan fatal.

Saya : dalam paragraf di atas Kyai Idrus mengakui dan menetapkan bahwa ada Tauhid yang disebut dengan tauhid Uluhiyyah, perhatikan ucapannya : “seharusnya ayat tersebut dikaitkan dengan tauhid uluhiyyah, agar selaras dengan lafal Allah”

Saya ucapkan Ahlan Wasahlan pak kyai telah mengakui adanya tauhid Uluhiyyah.

Katanya: Kedua, Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata:

ثُمَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُوْنَ

“kemudian orang-orang kafir menyimpang”

Terjemahan Anda terhadap ayat tersebut adalah tidak benar. Para ulama menerjemahkan ayat tersebut dengan:

“namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.”

Jadi lafal ya’diluun, oleh para ulama diartikan mempersekutukan dan menyamakan Tuhan dengan selain Tuhan, bukan diartikan menyimpang.

Dalam ayat tersebut, lafal rabbihim, yang berarti rububiyyah, dikaitkan dengan kemusyrikan orang-orang kafir. Dengan demikian, seharusnya, kalau Anda sebagai Wahabi konsisten dengan kalimat di atas, ayat tersebut berkaitan dengan tauhid rububiyyah, bukan uluhiyyah, agar selaras dengan lafal rabbihim dalam ayat tersebut. Tetapi Anda, justru memahaminya sebagai tauhid uluhiyyah. Jadi Anda membolak-balik pernyataan ulama selevel Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu, agar sesuai dengan pembagian tauhid Wahabi.

Dan apabila Anda konsisten mengikuti pernyataan Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu secara benar, maka batallah pembagian tauhid menjadi tiga ala wahabi yang Anda sebarkan. Dan nyatalah kebohongan Anda kepada umat Islam.

Saya: Dalam paragraf ini kyai Idrus secara teliti telah menetapkan bahwa Tauhid Rububiyyah itu ada, perhatikan ucapannya di atas yang berbunyi : “Dalam ayat tersebut, lafal rabbihim, yang berarti rububiyyah, dikaitkan dengan kemusyrikan orang-orang kafir. Dengan demikian, seharusnya, kalau Anda sebagai Wahabi konsisten dengan kalimat di atas, ayat tersebut berkaitan dengan tauhid rububiyyah.”

Saya Ucapkan Ahlan Wasahlan kepada Kyai Idrus yang telah memperlihatkan isi hatinya dan akhirnya mengakui bahwa tauhid Rububiyya itu ada.

Terserah pak kyai saja, mau menjadikan penggalan Ayat pertama sebagai Tauhid Uluhiyyah dan yang kedua sebagai dalil Tauhid Rububiyyah, tidak masalah, sebab yang penting adalah kyai mengakui kebenaran adanya kedua konsep tauhid tersebut.

Katanya: Ketiga, Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata:

وَلاَ يَبْلُغُ الْوَاصِفُوْنَ كُنْهَ عَظَمَتِهِ الَّذِيْ هُوَ كَمَا وَصَفَ نَفْسَهُ وَفَوْقَ مَا يَصِفُهُ بِهِ خَلْقُهُ

“Dan orang-orang yang menyifatkan hakikat keagungan-Nya tidak akan bisa sampai seperti apa yang Dia sifatkan pada diri-Nya dan lebih dari apa yang disifatkan oleh makhluk-Nya.”

Fragmen tersebut sebenarnya memberikan pengertian bahwa al-Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu beri’tiqad bahwa Allah subhanahu wa ta’ala bukan benda yang tersusun (jisim) dan bukan pula menetap pada suatu arah. Karena seandainya Allah itu berupa benda atau menetap pada suatu arah, tentu orang-orang yang menyifati-Nya akan bisa sampai pada hakikat keagungan-Nya. Ternyata di sini Imam al-Syafi’i, menegaskan bahwa orang-orang yang menyifati-Nya tidak akan sampai pada hakikat keagungan-Nya, sebagaimana Dia menyifati diri-Nya, dan lebih dari apa yang disifatkan oleh makhluk-Nya. Pernyataan tersebut sekaligus membatalkan terhadap konsep akidah Wahabi yang meyakini bahwa Tuhan bertempat di Arasy, dan bentuknya seperti seorang laki-laki yang masih muda dan tanpa jenggot. Allah Maha Suci dari menyerupai apapun. Para ulama salaf berkata:

كُلُّ مَا خَطَرَ بِبَالِكَ فَاللهُ لَيْسَ كَذَلِكَ

Setiap apa yang terlintas dalam pikiranmu, maka Allah tidak seperti itu.

Keyakinan bahwa wujudnya Allah tanpa tempat dan arah, adalah kesepakatan Ahlussunnah Wal-Jama’ah sejak generasi salaf yang saleh. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh seorang ulama salaf, yaitu al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi dalam al-‘Aqidah al-Thahawiyyah:

تَعَالَى (يَعْنِىْ اللهُ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَالْغَايَاتِ وَاْلأَرْكَانِ وَاْلأَدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ.

Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, sehingga Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti tangan, wajah dan anggota badan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya), Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang), tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut. (Al-‘Aqidah al-Thahawiyyah).

Pernyataan al-Imam al-Thahawi tersebut merupakan ijma’ (konsensus) para sahabat dan ulama salaf yang saleh, karena al-Imam al-Thahawi menulis kitabnya, al-‘Aqidah al-Thahawiyyah sebagai rangkuman dari akidah-akidah yang menjadi keyakinan seluruh sahabat dan ulama salaf yang saleh. Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi juga mengatakan:

وَأَجْمَعُوْا عَلىَ أَنَّهُ لاَ يَحْوِيْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِيْ عَلَيْهِ زَمَانٌ.

Ahlussunnah Wal-Jama’ah juga bersepakat, bahwa Allah itu tidak diliputi oleh tempat dan tidak dilalui oleh zaman. (Abu Manshur Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi, al-Farq baina al-Firaq, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tanpa tahun, hlm. 256).

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu tidak berakidah seperti Wahabi, yang membagi tauhid menjadi tiga, rububiyyah, uhuliyyah dan asma’ wa shifat.

Saya : adapun paragraf yang ini, di sini Kyai Idrus telah menjelaskan dengan rinci bagaimana cara beriman terhadap Shifat Allah, dan ini menunjukkan penetapannya secara tak langsung atas perkataan Imam Syafi’i akan ketetapan adanya tauhid Asma’ Wash-Shifat.

Saya ucapkan Jazakallahu Khairo atas kyai Idrus yang telah mengakui konsistensi pembagian tauhid menjadi Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah dan Tauhid Asma’ Wash-Shifat yang memang telah benar-benar telah diisyaratkan oleh Imam Syaf’i.

 

Jika Shahih Haditsnya, Ikutilah

jejak2-kaki

Catatan ini adalah secuil pendapat saja atas dua judul tulisan Ustadz Ahmad Sarawat Lc,MA. Yang dimuat di rumahfiqih.com, penulis melihat penting untuk meluruskan yang kurang tepat di dalam tulisan tersebut dengan tujuan agar orang-orang tidak terperdaya dengannya, sebab sesungguhnya bermadzhab tidklah tercela, yang tercela adalah meninggalkan beramal dengan Hadits hanya karena pendapat yang tidak didasari oleh Hadits.

Catatan ini saya rangkai dalam bentuk komentar di bawah beberapa point tulisan Ustadz Ahmad Sarawat Lc.MA, semoga bermanfaat.

  1. Benarkah Hadits Shahih Belum Tentu Bisa Dipakai?

Ustadz Ahmad berkata: Walhasil, setidaknya dari situ kita tahu bahwa tidak mentang-mentang ada fatwa bahwa suatu hadits itu shahih, lantas kita langsung menelan bulat-bulat, bahkan dijadikan dalil. Kita perlu melakukan penelitian secara lebih jauh, apakah vonis shahih itu masih merupakan pendapat orang per-orang atau sudah seluruh ulama menyepakatinya?

Penulis : Vonis Shahih dari seorang Imam Ahli Hadits atas satu Hadits mewajibkan dirinya untuk beramal dengan Vonis tersebut, sebab itulah yang benar menurut Ijtihadnya, sebagai contoh :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «يَجْهَرُ بِبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ» . قال الحاكم : «قَدِ احْتَجَّ الْبُخَارِيُّ بِسَالِمٍ هَذَا وَهُوَ ابْنُ عَجْلَانَ الْأَفْطَسُ، وَاحْتَجَّ مُسْلِمٌ بِشَرِيكٍ، وَهَذَا إِسْنَادٌ صَحِيحٌ وَلَيْسَ لَهُ عِلَّةٌ وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ» .

 

Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adanya adalah mebaca dengan jelas (tidak berbisik) Bismillahir Rahmanir Rahiim. || Albukhari telah berhujjah dengan Salim ini, dan dia adalah ibnu ‘Ajlan Al-Afthas, dan Muslim telah berhujjah dengan Syarik, dan Hadits ini Isnadnya Shahih tidak ada ‘illah padanya dan keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengeluarkannya (dalam kitab Shahih mereka masing-masing).

Maka Imam Hakim adalah Imam yang bermadzhab akan Sunnahnya membaca Basmalah dengan suara lantang dalam Shalat berdasarkan Ijtihad beliau yang telah sampai pada menShahihkan Hadits ini karena tidak sah seorang imam Mujtahid bertaqlid kepada ijtihad Tash-hih Imam yang lain, dan hal ini adalah persoalan yang telah diketahui di kalangan Ulama Ushul.

Dengan begitu, maka hadits Shahih yang dinilai Shahih oleh perorangan bisa menjadi dalil dan bahkan bisa dipertimbangkan sebagai pelengkap terbangunnya satu hukum jika di situ terdapat perbedaan pendapat, dan orang yang menelan mentah-mentah Hadits Shahih lebih baik dari pada orang yang menelan mentah-mentah Fatwa yang tak disertakan Hadits Shahih selama masalah tersebut tidak berada di dalam Ranah Ijma’.

Meneliti lebih jauh keberadaan satu Hadits nampaknya tidak perlu dilakukan oleh Ustadz Ahmad Sarawat, kalau pun akan dilakukannya maka belum tentu akan diperhitungkan oleh Ulama, sebab dalam tulisan lainnya ia mengesankan bahwa peneliti-peneliti Hadits saat ini adalah peneliti Rendahan, semoga yang beliau maksud bukanlah Syaikh Al-Albani.

Penting diingat, pembahasan ini adalah sebatas Hadits Shahih, bukan masalah lainnya seperti Marotibuttarjih dan lainnya.

 

  1. Benarkah Keshahihan Shahih Hanya Sebuah Produk Ijtihad?

 

Ustadz Ahmad berkata: Masalah keshahihan hadits ini memang banyak orang yang terkecoh, karena kurang mengerti dan belum memahami apa yang dimaksud dengan hadits shahih.

Penulis: Sepertinya Hadits Shahih telah didefinisikan secara baku oleh para Ulama, dan dari definsi (Al-Hadd) tersebut lah para peneliti Hadits – termasuk Al-Albani – menimbang dan mengukur, membedakan dan menetapkan status satu Hadits.

Ustadz Ahmad berkata : Banyak yang berpikir bahwa keshahihan suatu hadits itu adalah wahyu yang turun dari langit. Banyak orang awam yang belum pernah belajar ilmu hadits berimajinasi seolah-olah keshahihan hadits merupakan wangsit khusus yang diberikan kepada tokoh-tokoh tertentu secara ghaib. Seolah-olah informasi keshahihan hadits itu secara khusus Allah anugerahkan kepada sosok tertentu, rada mirip-mirip dengan sosok imam mahdi di akhir zaman.

Penulis: ini agak berlebih (Lebay) silahkan saja buktikan siapa dan dimana orang-orang tersebut dengan sifat-sifat yang dipaparkan.


Ustadz Ahmad berkata : Tetapi menjadi keliru sekali ketika kita mengandalkan keshahihan hadits Bukhari dan Muslim sebagai satu-satunya rujukan dalam masalah agama. Mengapa? Karena selain hasil ijtihad keduanya, masih ada ribuan peneliti dan ahli hadits lain yang juga melakukan penelitian. Dan tidak sedikit yang kualitasnya malah lebih tinggi dari apa yang diijtihadkan oleh keduanya.

Penulis: Telah bersepakat para Ulama Hadits dan Ushul, bahwa Hadits Ahaad yang paling tinggi kualitasnya berada di dalam Shahih Bukhari dan Muslim, siapa pun yang memungkiri hal ini maka dia Syadz, Ijtihad yang dilakukan oleh Imam Bukhari dan Muslim bukan sekedar ijtihad akan tetapi kedua kitab ini telah mendapatkan penerimaan di kalangan Ahli Ilmu sedunia semenjak keduanya telah muncul hingga sampai hari ini, penerimaan dalam arti bahwa semua yang ada di dalamnya sah sebagai Hujjah, Sah sebagai Hujjah di sini maksudnya jika ada yang berdalil dengannya maka sangat layak dipertimbangkan, adapun perkataan yang ustadz Ahmad tuliskan bahwa “menjadi keliru sekali ketika kita mengandalkan keshahihan hadits Bukhari dan Muslim sebagai satu-satunya rujukan dalam masalah agama” tidaklah tepat sepenuhnya, – disini kita tidak membahas jenis-jenis Hujjah yang Empat, Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas – justru mengandalkan Keshahihan Bukhari Muslim adalah metode Tarjih yang bisa ditempuh dalam menuntut Tarjih, namun jika yang dikehendaki dengan perkataan tersebut adalah menafikan Kitab-kitab Hadits lainnya sebagai sumber Agama, kita sepakat itu tidak benar.
Ustadz Ahmad berkata : Memang ada sementara tokoh saking antipatinya dengan mazhab fiqih, lalu mengarang-ngarang sebuah nama mazhab imaginer baru yang tidak pernah ada bukti kongkritnya dalam sejarah. Mereka sebut mazhab ‘ahli hadits’. Dari namanya saja sudah bermasalah. Dikesankan seolah-olah yang tidak bermazhab ahli hadits berarti tidak menggunakan hadits dalam mazhabnya. Padahal mazhab ahli hadits itu adalah mazhab para ulama peneliti hadits untuk mengetahui keshahihan hadits dan bukan dalam menarik kesimpulan hukum (istimbath).

Penulis: Madzhab Imaginer, inilah yang lahir jika yang dikandung adalah buruk sangka terhadap Ulama, Madzhab Ahli Hadits itu benar adanya, kongkrit buktinya hanya saja Ustadz Ahmad terlalu bernafsu ingin membatasi bahwa Madzhab itu hanya Empat, yang lain adalah sempalan dan ini terlihat jelas dalam tulisannya “Adakah Madzhab Salaf” yang sangat jauh dari Inshaf dan Adab kepada Ulama, Sebelum Imam Madzhab yang Empat terlahir, pada masa itu, Madzhab apakah yang dijadikan Madrasah Fiqih? Jawaban yang akan muncul, maka itulah Hakikat Madzhab Salaf.

Adapun Madzhab Ahli Hadits, tidak ada yang bermasalah di situ dan tidak ada Ulama yang mempermasalahkannya dari sebelumnya kecuali Ustadz Ahmad, dari itu banyak kita temukan para Ulama menyebutkan nama Madzhab Ahlul Hadits saat memaparkan suatu Khilaf tertentu, sebagai salah satu contoh Imam Ahmad berkata : – mengomentari Hadits tentang Firqoh Najiyah –

إِنْ لَمْ يَكُونُوا أَهْلَ الْحَدِيثِ فَلَا أَدْرِي مَنْ هُمْ

Kalau mereka bukan Ahli Hadits maka saya tidak mengetahui siapakah mereka

 قَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ إِنَّمَا أَرَادَ أَحْمَدُ أَهْلَ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ وَمَنْ يَعْتَقِدُ مَذْهَبَ أَهْلِ الْحَدِيثِ

Qadhi Iyadh berkata: Imam Ahmad mengehendaki dengan ucapannya ini Ahlussunnah Wal Jamaah dan siapa saja yang beraqidah dengan Madzhab Ahlul Hadits.

Namun yang anehnya lagi, dalam paragraf yang sama, Ustadz Ahmad malah mengakui keberadaan madzhab Ahlul hadits walaupun sebatas lingkup peneliti hadits, bacalah: “Padahal mazhab ahli hadits itu adalah mazhab para ulama peneliti hadits untuk mengetahui keshahihan hadits”, baru saja dia mengatakannya Imaginer dan tak terbukti ada secara kongkrit lalu beberapa menit ia menariknya kembali.

Tidak ada penuntut ilmu yang telah faham menjadi terkesan bahwa penamaan Ahlul Hadits akan menimbulkan kesan seperti apa yang disebutkan oleh Ustadz Ahmad: “Dikesankan seolah-olah yang tidak bermazhab ahli hadits berarti tidak menggunakan hadits dalam mazhabnya.”, bahkan orang awampun tidak sama sekali akan terkesan demikian, justru malah sekarang Ustadz Ahmad hendak membangun opini dan kesan kepada pembaca setianya bahwa Ahlul Hadits yang notabene adalah Ulama Hadits tidak pandai Fiqh, yang mereka ketahui hanyalah tentang Sanad saja. Subhanaka Hadza Buhtanun Adhim.

Ustadz Ahmad berkata : Kalaulah benar pernah ada mazhab ahli hadits yang berfungsi sebagai metodologi istimbath hukum, lalu mana ushul fiqihnya? Mana kaidah-kaidah yang digunakan dalam mengistimbath hukum? Apakah cuma sekedar menggunakan sistem gugur, bila ada dua hadits, yang satu kalah shahih dengan yang lain, maka yang kalah dibuang?

Penulis: apakah penting gitu, Ahlul Hadits melapor menyerahkan hujjahnya kepada Ustadz Ahmad ? kalau tidak Shahih, maka Hadits yang Shahihlah yang diambil, apakah Ustadz Ahmad menghendaki cara yang sebaliknya?

Wahai saudaraku yang mulia, Ushul Fiqh dan kaidah-kaidah yang ada di dalamnya juga adalah hasil Ijtihad, sehingga ada juga Khilaf di dalamnya antara manakah yang boleh dijadikan sebagai Hujjah dalam Istinbath dan mana yang tidak, maka pertanyaan di atas lebih ke arah mengada-ada saja, tidak ada kewajiban atas muslim mentaati pendapat seseorang kecuali Sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.
Ustadz Ahmad berkata :  Orang-orang awam yang kurang ilmu itu dengan seenaknya menyelewengkan ungkapan para imam mazhab itu dari maksud aslinya : “Bila suatu hadits itu shahih, maka itulah mazhabku”. Kesannya, para imam mazhab itu bodoh dengan keshahihan hadits, lalu menggantungkan mazhabnya kepada orang-orang yang hidup dua tiga abad sesudahnya.

Padahal maksudnya bukan begitu. Para ulama mazhab itu menolak suatu pendapat, karena menurut mereka hadits yang mendasarinya itu tidak shahih. Maka pendapat itu mereka tolak sambil berkata,”Kalau hadits itu shahih, pasti saya pun akan menerima pendapat itu. Tetapi berhubung hadits itu tidak shahih menurut saya, maka saya tidak menerima pendapat itu”.  Yang bicara bahwa hadits itu tidak shahih adalah profesor ahli hadits, yaitu para imam mazhab sendiri. Maka wajar kalau mereka menolaknya.

Penulis: Apakah Imam Syafi’i telah sampai kepadanya semua Hadits Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dari A-Z?  jawabannya adalah tidak. Apakah Kitab Al-Muwatha’ Malik telah mencakup semua Hadits Nabi seluruhnya dari A-Z ? jawabannya tidak.

Jadi ini bukan masalah apakah beliau menshahihkan atau tidak satu Hadits tapi masalah belum sampainya Hadits kepada para Imam Madzhab sehingga mereka berkata “Bila suatu hadits itu shahih, maka itulah mazhabku” sebab dilain tempat ada beberapa Hadits yang belum sampai ke pangkuan beliau para imam Madzhab sehingga mereka menyerahkan permasalahannya ke Hadits, bukan seperti yang dikatakan ustadz Ahmad yang sangat mengelabui “Kesannya, para imam mazhab itu bodoh dengan keshahihan hadits, lalu menggantungkan mazhabnya kepada orang-orang yang hidup dua tiga abad sesudahnya.”.

Ustadz Ahmad berkata :  Tetapi lihat pengelabuhan dan penyesatan dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif. Digambarkan seolah-olah seorang Imam Asy-Syafi’i itu tokoh idiot yang tidak mampu melakukan penelitian hadits sendiri, lalu kebingungan dan menyerah menutup mukanya sambil bilang,”Saya punya mazhab tapi saya tidak tahu haditsnya shahih apa tidak, jadi kita tunggu saja nanti kalau-kalau ada orang yang ahli dalam bidang hadits. Nah, mazhab saya terserah kepada ahli hadits itu nanti ya”.

Dalam hayalan mereka, para imam mazhab berubah jadi badut pandir yang tolol dan bloon. Bisanya bikin mazhab tapi tidak tahu hadits shahih. Sekedar meneliti hadits apakah shahih atau tidak, mereka tidak tahu. Dan lebih pintar orang di zaman kita sekarang, cukup masuk perpustakaan dan tiba-tiba bisa mengalahkan imam mazhab.

Penulis : Sekali lagi, : Apakah Imam Syafi’i telah sampai kepadanya semua Hadits Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dari A-Z?  jawabannya adalah tidak. Apakah Kitab Al-Muwatha’ Malik telah mencakup semua Hadits Nabi seluruhnya dari A-Z ? jawabannya tidak.

Ustadz Ahmad, Jadi ini bukan masalah apakah beliau Imam Syafi’i dan lainnya menshahihkan atau tidaknya satu Hadits, akan tetapi masalah apakah sampai atau tidaknya Hadits kepada para Imam Madzhab sehingga mereka berkata “Bila suatu hadits itu shahih, maka itulah mazhabku” sebab dilain tempat ada beberapa Hadits yang belum sampai ke pangkuan beliau para imam Madzhab sehingga mereka menyerahkan permasalahannya ke Hadits.

Jika ini bisa diterima dan difahami dengan baik, maka Insyallah tidak perlu kita jor-joran menampakkan ke-buruk sangka-an terhadap penuntut ilmu dan Ulama.

Imam Syafi’i berkata:

: أجمع الناس على أنه من استبانت له سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يكن له أن يدعها لقول أحد.

Manusia telah bersepakat atas sesunguhnya siapa saja yang keberadaan Sunnah rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah menjadi jelas baginya, maka tidaklah seyogyanya dia meninggalkannya karena ucapan seseorang.

Beliau juga berkata:

: كل مسألة صح فيها الخبر عن رسول الله صلى الله عليه وسلم عند أهل النقل بخلاف ما قلت فأنا راجع عنها في حياتي وبعد مماتي.

Setiap persoalan yang telah benar suatu Khabar dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam di dalamnya di sisi Ahli Riwayat menyelisihi apa yang aku katakan, maka aku meralat ucapanku dari sejak aku hidup sampai setelah kematianku.

demikian yang dapat penulis sampaikan semata-mata sebagai usaha Tanashuh, dan semoga bisa diterima. Amiin.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى أله وأصحابه أجمعين