Qaza’ Antara Makruh dan Haram

Kali ini tentang Qaza’, yaitu gaya cukuran rambut yang mendapat perhatian khusus dalam Islam, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda yang artinya: “Nabi melarang Qaza'” (HR. Bukhari dan Muslim).

Para Ulama walhamdulillah telah meluangkan jerih payahnya dalam memahami dan menghukumi makna dari larangan Qaza’ tersebut, di samping juga mereka telah berusaha menentukan makna yang tepat atas Qaza’ yang nantinya menjadi titik acuan larangan, dan berikut kami nukilkan sebuah paparan dari sebuah forum diskusi klik pendapat seorang peserta forum berinisial Abu Yahya At-Turky dengan sedikit tambahan dan pengurangan seperlunya.

قال النووي في شرحه على مسلم 14/101  وأجمع العلماء على كراهة القزع إذا كان في مواضع متفرقة إلا أن يكون لمداواة ونحوها وهي كراهة تنزيه . وكرهه مالك في الجارية والغلام مطلقا وقال بعض أصحابه لا بأس به في القصة ـ بضم القاف ـ والقفا للغلام . ومذهبنا كراهته مطلقا للرجل والمرأة لعموم الحديث

An-Nawawi berkata dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim 14/101: “Para ulama berijma’ atas Makruhnya Qoza’ apabila dibuat pada bagian-bagian yang terpisah, kecuali jika Qaza’dilakukan untuk pengobatan dan semisalnya, dan sedangkan ia (Qaza’ dengan pola terpisah pisah ini) hukumnya Makruh Tanzih (makruh biasa). Imam Malik menilai Makruh pada anak perempuan dan laki-laki secara mutlak dan sebagian pengikutnya berkata, ” Tidak mengapa memangkas rambut dan (mengguduli) tengkuk anak kecil.” Adapun dalam madzhab kami hukumnya Makruh secara mutlak kepada laki-laki dewasa dan wanita berdasarkan keumuman Hadits.”

وقال المناوي في فيض القدير 1/201  فإن الحلق لبعض الرأس وترك بعضه مثله ويسمى القزع فهو مكروه مطلقا تنزيها إلا لعذر سواء كان لرجل أو امرأة ذكره النووي ، وسواء كان في القفا أو الناصية أو الوسط خلافا لبعضهم

Al-Munawi berkata dalam kitab Faidhul-Qadir 1/201: “Adapun memangkas sebagian rambut dan membiarkan sebagiannya  dengan (ukuran sebagian) semisalnya,  dan dinamakan Qaza’, maka ia Makruh Tanzih secara mutlak kecuali ada udzur, baik itu untuk laki-laki dewasa ataupun wanita (sebagaimana) telah disebutkan oleh An-Nawawi. Baik itu pada tengkuk, jambul (bagian depan kepala) ataupun rambut tengah sama saja, (dan hukum ini) berbeda dengan (pendapat) dari sebagian mereka. (Ulama)

ومقالة المناوي الأخيرة لا تفيد أن بعضهم يحرم القزع ، إنما تفيد أن المناوي يعتبر الحلق في تلك المواضع من القزع فلذا هو مكروه عندهم ، أما البعض الذين أشار إليهم المناوي فيرون أنه ليس بقزع فلذا هو مباح عندهم.

Perkataan al-Munawi pada kutipan yang terakhir ini bukan bermakna bahwa mereka mengharamkan Qoza’, ucapan tersebut hanya memberikan faedah makna bahwa al-Munawi menganggap mencukur bagian-bagian (dengan terpisah) itu termasuk Qoza’, oleh karena itu hukumnya Makruh disisi mereka. Adapun maksud dari ucapan  “sebagian ulama” yang al-Munawi isyaratkan, adalah mereka berpendapat bahwasanya hal tersebut bukan termasuk Qoza’ oleh karena itu disisi mereka hal itu Mubah.

Dan agar engkau mengetahui hal itu dengan baik, selayaknya bagimu agar mengetahui bahwasanya para ulama berbeda pendapat dalam subtansi pengertian al-Qoza’, bukan berbeda pendapat pada hukumnya dan berikut ini adalah penjelasan para Ulama dalam menentukan subtansi pengertian Qaza’ :

قال ابن حجر في الفتح 10/365  قال النووي : الأصح أن القزع ما فسره به نافع وهو حلق بعض رأس الصبي مطلقا ، ومنهم من قال :هو حلق مواضع متفرقة منه . والصحيح الأول ، لأن تفسير الراوي غير مخالف للظاهر فوجب العمل به ، قلت : إلا أن تخصيصه بالصبي ليس قيدا

Ibnu Hajar al-Asqolani berkata dalam kitabnya Fathul Bari 10/365: “An-Nawawi berkata: Yang paling benar bahwa al-qoza’ adalah apa yang ditafsirkan oleh Nafi’, yaitu mencukur sebagian rambut anak kecil secara mutlak. Dan sebagian dari mereka ada yang berkata: mencukur pada bagian-bagian terpisah di kepala. Dan yang benar adalah yang pertama. Karena penafsiran perawi haditsnya tidak menyelisihi makna dhahir Hadits, maka wajib beramal dengannya. Aku (Ibnu Hajar) berkata: Bagaimanapun juga pengkhususannya (Qaza’) bagi anak kecil bukan sebagai pengikat.”

وقال المناوي ـ بضم الميم ـ  وفهم من إطلاقه عموم النهي كما لو ترك منه مواضع متفرقة أو حلق الأكثر وترك محلا واحدا

Al-Munawi berkata: “Dapat dipahami dari kemutlakannya (Hadits) terdapat makna pelarangan (atas Qaza’) secara umum, seperti misalnya kasus seorang tidak melakukan gundul pada tempat tempat secara terpisah, atau misalnya dia menggunduli lebih banyak dan membiarkan satu bagian yang tidak digundul)”)

Maksud perkataan Al-Munawi disini hendak menetapkan bahwa sifat Qaza’ yang dilarang atau Makruh mencakup ke semua bentuk Qaza’ yang ada, seperti menggunduli kepala hanya pada sebagiannya saja namun dengan pola terpisah pisah, atau dengan pola tidak terpisah pisah.

وقال القرطبي في المفهم 5/441  لا خلاف في أنه إذا حلق من الرأس مواضع وأبقيت مواضع أنه من القزع المنهي عنه ، لما عرف من اللغة كما نقلناه ، ولتفسير نافع له بذلك ، واختلف فيما إذا حلق جميع الرأس وترك منه مواضع كشعر الناصية ، أو فيما إذا حلق موضعا وحده وبقي أكثر الرأس ، فمنع من ذلك مالك ، ورآه من القزع المنهي عنه

Al-Qurthubi berkata dalam kitabnya al-Mufhim 5/441: “Tidak ada perbedaan pendapat bahwasanya jika seorang mencukur sebagian rambut di satu bagian area kepala saja dan menyisakan bagian area yang lain, ini termasuk al-qoza’ yang dilarang. Karena telah diketahui dari sisi bahasa sebagaimana telah kami nukilkan. Dan juga berdasakan atas penafsiran Nafi’ dengan hal itu, Dan diperselisihkan dalam hal ini jika mencukur seluruh rambut namun membiarkan sebagian area yang lain seperti rambut jambul, atau dalam hal jika mencukur satu bagian saja dan membiarkan sisanya semuanya, maka Imam Malik melarang hal itu dan ia berpendapat itu termasuk al-qoza’ yang dilarang darinya.”

Maka dapat diraih kesimpulan dari paparan di atas bahwasanya para ulama dalam tafsir dan pengertian al-qoza’ terbagi menjadi dua pendapat:

Pertama: Al-qoza’ adalah mencukur rambut pada sebagian dan membiarkan sebagian. Dan ini sesuai dari sisi bahasa. Maka berdasarkan atas hal tersebut, jika seorang mencukur seluruh rambut dan membiarkan sebagian kecil seperti jambul atau sebaliknya maka tidak dinamakan al-qoza’ dan oleh karena itu tidak menjadi makruh.

Kedua : Al-qoza’ adalah mencukur sebagian rambut secara mutlak, dan ini adalah pendapat dalam Madhzab Hanabilah, Syafi’iyyah pada pendapat mereka yang terakhir. An-Nawawi, Ibnu Hajar dan al-Munawi menshahihkannya sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, begitu juga at-Thibbi pada pendapat lainnya.

kesepakatan hukum Makruhnya Qaza’ ini juga ditetapkan dalam satu fatwa ini Klik , walau pun tentunya ada fatwa yang mengharamkannya karena alasan tertentu dan berdasar namun apabila Ijma’ telah tegak sebelumnya maka tidaklah mudah menyelisihinya walau pun seandainya tidak ditemukan hal yang dapat mengubah makna dasar larangan adalah Haram menjadi Makruh.

Bekasi 11 Dzul Qa’dah 1436 H.

Sketsa Dialog Tawassul

Biasanya sebagian oknum dari orang-orang yang mengaku dirinya Shufi atau Aswaja paling marah bila mendengar bahasan Tawassul dibawakan oleh saudara seislamnya yang mereka beri julukan dengan Wahhabi.

“Dikit dikit Syirik, Bid’ah , Sesat, Dasar wahhabi tukang Copy Paste tukang penyesat amalan ummat Islam !”.. demikianlah kira kira ucapan dan koment yang sering kita dengar dari mereka, baik dari lisan tetua mereka mau pun dari kalangan pengekornya.

Jadi untuk menjawab tuduhan tersebut, ada baiknya kita simak percakapan berikut ini:

Shufi : menurut kamu Tawassul itu apa hai Wahhabi ?

SalafY : sabar, sabar, kamu kalau sudah nanya tentang Tawassul kok jadi galak gitu, kayak mau makan orang aja. Jadi begini, Tawassul yang mana yang kamu maksud?

Shufi : tentu saja Tawassul dalam doa dengan seseorang ! seperti Tawassul dengan Nabi atau orang Shalih

Salafy : oo, Tawassul dengan Nabi Hukumnya boleh, tapi makna Tawassul dengan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam maksudnya adalah kita bertawassul dalam Doa dengan kecintaan kita kepada beliau dan pengagungan kita terhadap beliau.

Adapun bertawassul dengan yang selain Nabi dalam berdoa tidak ada contohnya dari para Shahabat, yang ada adalah Shahabat meminta didoakan, seperti Umar bin Khatthab Radhiyallahu Anhu yang meminta didoakan oleh Uwais Al-Qarany.

Dari itu tidak kita temukan ada Atsar yang menyebutkan bahwa ada Shahabat atau Tabi’in berdoa dengan menyebut nama Abu bakr Ash-Shiddiq untuk bertawassul dengannya.

Shufi : lhoh, kenapa begitu wahhaby, jangan ngawur!? apa salahnya kalau bertawassul dengan diri Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam secara utuh dalam doa !? Tawassul dengan Dzat Nabi atau Orang Shalih dibolehkan oleh semua Ulama kecuali golongan kalian saja.

Salafy : kalau seadainya memang benar ada anjuran atau boleh Tawassul dengan dzat Nabi seutuhnya maka berarti boleh dong kita bertawassul dengan bagian dari tubuh beliau Shallallahu Alaihi Wasallam secara tersendiri, seperti : “Ya Allah dengan rambut nabimu Shallallahu Alaihi Wasallam aku memohon diberikan jodoh”.. atau mungkin seperti ini , “Ya Allah dengan tangan Nabimu Shallallahu Alaihi Wasallam aku memohon dimudahkan rejeki”..

Diskusi macet, soalnya si Shufi sudah mulai berang dan ambil ancang-ancang untuk marah ke si Wahhabi dan bila perlu diusir dari kampung saja.

Salafy : Sabar, sabar. jadi begini saudaraku, Tawassul itu bukanlah pokok ajaran dalam Syariat berdoa, namun hanya bagian kecil darinya, adapun intinya adalah berdoa langsung kepada Allah.

Shufi : Aaah, jangan ngawur, paling itu hanya ucapan Ulama Wahhabi saja.

Salafy : Kamu pasti tau Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki kan !? nah beliau ini dalam kitabnya Mafahim Yajib An Tushahhah (halaman 119) berkata: “ Yang ke empat : Sesungguhnya Tawassul bukanlah perkara yang Lazim (harus) atau pun perkara mendesak, bukanlah Ijabah doa bergantung atasnya, akan tetapi yang menjadi dasar adalah berdoa kepada Allah secara Mutlak seperti firman Allah dalam Al-Quran Al-Baqarah 186 dan Surat Al-Isra’ 110”.

Shufi  : (melongo namun sambil menahan emosi)

Salafy : saudaraku, kenapa kita ribut ribut dengan perkara yang bukan Asal dan bukan hal mendesak !? seumpama sepeda motor yang tengah pecah bannya ketika dalam satu perjalanan penting, dalam keadaan seperti itu tentu urusan yang paling pertama yang harus diperbaiki adalah membenarkan ban tersebut, jika yang di otak otik terlebih dulu adalah knalpotnya, ya kapan bisa jalan motornya.

Mari kita perbanyak Hafalan doa yang datang dari hadits Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam sehingga doa kita insyallah lekas terkabul, berdoa dengan nyebut wali fulan atau Syaikh Fulan belum tentu ada dasar petunjuknya (nisbi) dan belum tentu pula dikabulkan. yang udah jelas aja deh yang diamalkan, Ya !

The End

Tiga Hal Ini Penyebab NU dan Wahhabi Tak Bisa Bersatu

Sudah lumrah diketahui khalayak, dan kini telah menjadi kian biasa terdengar oleh kita, sebutan NU dan Wahhabi. Kedua lebel atau atribut ini walau pun tidak benar secara Syar’i dijadikan sebagai bahan Tanabuz Bil Alqab (saling menjuluki dengan keburukan), namun sudah sangat menjadi penomenal di masyarakat  dan kian mengacu ke arah perpecahan.

Perpecahan itu pelak tak bisa dihindari, perebutan status hakiki sebagai ASWAJA pun kian memanas, mulai dari debat ilmiyyah sampai debat kusir telah banyak dihelat, baik secara bermajelis atau pun melalui medsos.

Lalu apakah sebenarnya inti dasar yang menjadi penyebab hal tersebut terjadi, di sini penulis – Semoga Allah mengampuni dan memberinya Hidayah – mencoba menyimpulkannya sesuai dengan keterbatasan yang ada.

  1. Tauhid Rububiyyah tidak cukup sebagai menjadikan seseeorang bertauhid dengan baik dan benar selama tidak mengamalkan mentauhidkan Allah dalam perkara Uluhiyyah.

Persoalan ini adalah dasar yang paling utama dibalik perseteruan yang terjadi anatara NU dan Wahhabi, perseteruan ini pun tak bisa terhindar dari terseretnya nama beberapa tokoh besar Islam, di antaranya Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab – Rahimahumallah – sebagaimana yang akan kami sebutkan setelah ini.

Wahhabi dengan mantap memandang bahwa Tauhid Rububiyyah bukanlah kunci dari sempurnanya ketauhidan seseorang, selama dia belum mentauhidkan Allah dalam Uluhiyyah maka orang tersebut adalah Jahiliyyah dan imannya sama dengan jenis imannya Abu Lahab. Sementara NU yang merupakan wujud dari perpanjangan madrasah Madzhab Syafi’iyyah dan Asya’irah – menurut klaim mereka – menentang hal tersebut dengan begitu keras, sehingga pendahulu mereka Sayyid Dahlan (mufti Mekkah di zamannya) menulis secara khusus untuk mendobrak konsep yang dipandang hak oleh Wahhabi. Di situlah perang telah lama berkecamuk.

Selama persoalan dasar ini tidak menemukan titik temu kesepahaman maka kedua pihak baik NU atau pun Wahhabi tidak akan pernah berhenti saling melempar tuduhan “Golongan Sesat” atau “Ahli Bid’ah” antara satu terhadap yang lainnya.

  1. Bid’ah Hasanah

Persoalan ini adalah dasar yang paling utama – setelah yang pertama di atas –  dibalik perseteruan yang terjadi anatara NU dan Wahhabi, perseteruan ini pun tak bisa terhindar dari terseretnya nama beberapa tokoh besar Islam, di antaranya Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab sebagaimana yang akan kami sebutkan setelah ini.

Wahhabi dengan mantap memandang bahwa tidak ada Bid’ah Hasanah dalam Islam, semua Bid’ah Sesat dan harus diingkari sebab dia lebih berbahaya dari dosa besar.

Sementara NU yang merupakan wujud dari perpanjangan madrasah Madzhab Syafi’iyyah dan Asya’irah – menurut klaim mereka – menentang hal tersebut dengan begitu keras, sehingga banyaklah tulisan yang ditulis secara khusus untuk mendobrak konsep yang dipandang hak oleh Wahhabi. Di situlah perang telah lama berkecamuk.

Selama persoalan dasar kedua ini tidak menemukan titik temu kesepahaman maka kedua pihak baik NU atau pun Wahhabi tidak akan pernah berhenti saling melempar tuduhan “Golongan Sesat” atau “Ahli Bid’ah” antara satu terhadap yang lainnya.

  1. Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab

Nama kedua tokoh besar ini muncul ke masyarakat sebagai imbas yang paling utama dari perbedaan pendapat yang pertama dan kedua di atas.

Wahhabi dengan mantap memandang bahwa kedua tokoh tersebut adalah sang pencerah Islam di eranya masing-masing dan sangat layak diterima pendapatnya selama tidak menyalahi Ijma’ dan dalil. namun kadang yang terjadi oleh sebagian person Wahhabi menjadi seolah semua pendapat harus ditimbang dengan kedua tokoh tersebut dan akhirnya tidak sedikit pendapat yang muncul selain dari kedua tokoh tersebut menjadi tertolak dan bahkan tak layak untuk didiskusikan, (tentunya ini dalam beberapa persoalan saja tidak semuanya.)

Sementara NU yang merupakan wujud dari perpanjangan madrasah Madzhab Syafi’iyyah dan Asya’irah – ini menurut klaim mereka – menentang hal tersebut dengan begitu keras, sehingga banyaklah tulisan yang ditulis secara khusus untuk meruntuhkan pendapat-pendapat kedua tokoh tersebut. namun kadang yang terjadi oleh sebagian oknum NU adalah tidak sedikit kebenaran mereka tolak apabila arah anginnya berasal dari Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin Abdil Wahhaab. Maka di situlah perang telah lama berkecamuk.

Selama persoalan ini tidak menemukan titik temu kesepahaman maka kedua pihak baik NU atau pun Wahhabi tidak akan pernah berhenti saling melempar tuduhan “Golongan Sesat” atau “Ahli Bid’ah” antara satu terhadap yang lainnya.

Note Kesepakatan 

Namun demikian, walau pun kedua golongan besar ini berselisih dan berbeda pendapat, namun pada hakikatnya mereka bersepakat bahwa Syirik adalah Dosa yang sangat besar dan Bid’ah adalah satu hal yang teramat mengerikan, dan mereka menyadari bahwa tidak ada Ulama yang luput dari kekeliruan dan kesalahan.

Ada baiknya di sini kita mengingat kembali ucapan Imam Malik yang sangat Masyhur yang maksudnya: “Setiap ucapan memiliki sifat dasar bisa diterima dan juga bisa ditolak kecuali Ucapan Sabda pemilik Kuburan Itu”.