Sudah lumrah diketahui khalayak, dan kini telah menjadi kian biasa terdengar oleh kita, sebutan NU dan Wahhabi. Kedua lebel atau atribut ini walau pun tidak benar secara Syar’i dijadikan sebagai bahan Tanabuz Bil Alqab (saling menjuluki dengan keburukan), namun sudah sangat menjadi penomenal di masyarakat dan kian mengacu ke arah perpecahan.
Perpecahan itu pelak tak bisa dihindari, perebutan status hakiki sebagai ASWAJA pun kian memanas, mulai dari debat ilmiyyah sampai debat kusir telah banyak dihelat, baik secara bermajelis atau pun melalui medsos.
Lalu apakah sebenarnya inti dasar yang menjadi penyebab hal tersebut terjadi, di sini penulis – Semoga Allah mengampuni dan memberinya Hidayah – mencoba menyimpulkannya sesuai dengan keterbatasan yang ada.
- Tauhid Rububiyyah tidak cukup sebagai menjadikan seseeorang bertauhid dengan baik dan benar selama tidak mengamalkan mentauhidkan Allah dalam perkara Uluhiyyah.
Persoalan ini adalah dasar yang paling utama dibalik perseteruan yang terjadi anatara NU dan Wahhabi, perseteruan ini pun tak bisa terhindar dari terseretnya nama beberapa tokoh besar Islam, di antaranya Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab – Rahimahumallah – sebagaimana yang akan kami sebutkan setelah ini.
Wahhabi dengan mantap memandang bahwa Tauhid Rububiyyah bukanlah kunci dari sempurnanya ketauhidan seseorang, selama dia belum mentauhidkan Allah dalam Uluhiyyah maka orang tersebut adalah Jahiliyyah dan imannya sama dengan jenis imannya Abu Lahab. Sementara NU yang merupakan wujud dari perpanjangan madrasah Madzhab Syafi’iyyah dan Asya’irah – menurut klaim mereka – menentang hal tersebut dengan begitu keras, sehingga pendahulu mereka Sayyid Dahlan (mufti Mekkah di zamannya) menulis secara khusus untuk mendobrak konsep yang dipandang hak oleh Wahhabi. Di situlah perang telah lama berkecamuk.
Selama persoalan dasar ini tidak menemukan titik temu kesepahaman maka kedua pihak baik NU atau pun Wahhabi tidak akan pernah berhenti saling melempar tuduhan “Golongan Sesat” atau “Ahli Bid’ah” antara satu terhadap yang lainnya.
- Bid’ah Hasanah
Persoalan ini adalah dasar yang paling utama – setelah yang pertama di atas – dibalik perseteruan yang terjadi anatara NU dan Wahhabi, perseteruan ini pun tak bisa terhindar dari terseretnya nama beberapa tokoh besar Islam, di antaranya Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab sebagaimana yang akan kami sebutkan setelah ini.
Wahhabi dengan mantap memandang bahwa tidak ada Bid’ah Hasanah dalam Islam, semua Bid’ah Sesat dan harus diingkari sebab dia lebih berbahaya dari dosa besar.
Sementara NU yang merupakan wujud dari perpanjangan madrasah Madzhab Syafi’iyyah dan Asya’irah – menurut klaim mereka – menentang hal tersebut dengan begitu keras, sehingga banyaklah tulisan yang ditulis secara khusus untuk mendobrak konsep yang dipandang hak oleh Wahhabi. Di situlah perang telah lama berkecamuk.
Selama persoalan dasar kedua ini tidak menemukan titik temu kesepahaman maka kedua pihak baik NU atau pun Wahhabi tidak akan pernah berhenti saling melempar tuduhan “Golongan Sesat” atau “Ahli Bid’ah” antara satu terhadap yang lainnya.
- Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab
Nama kedua tokoh besar ini muncul ke masyarakat sebagai imbas yang paling utama dari perbedaan pendapat yang pertama dan kedua di atas.
Wahhabi dengan mantap memandang bahwa kedua tokoh tersebut adalah sang pencerah Islam di eranya masing-masing dan sangat layak diterima pendapatnya selama tidak menyalahi Ijma’ dan dalil. namun kadang yang terjadi oleh sebagian person Wahhabi menjadi seolah semua pendapat harus ditimbang dengan kedua tokoh tersebut dan akhirnya tidak sedikit pendapat yang muncul selain dari kedua tokoh tersebut menjadi tertolak dan bahkan tak layak untuk didiskusikan, (tentunya ini dalam beberapa persoalan saja tidak semuanya.)
Sementara NU yang merupakan wujud dari perpanjangan madrasah Madzhab Syafi’iyyah dan Asya’irah – ini menurut klaim mereka – menentang hal tersebut dengan begitu keras, sehingga banyaklah tulisan yang ditulis secara khusus untuk meruntuhkan pendapat-pendapat kedua tokoh tersebut. namun kadang yang terjadi oleh sebagian oknum NU adalah tidak sedikit kebenaran mereka tolak apabila arah anginnya berasal dari Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin Abdil Wahhaab. Maka di situlah perang telah lama berkecamuk.
Selama persoalan ini tidak menemukan titik temu kesepahaman maka kedua pihak baik NU atau pun Wahhabi tidak akan pernah berhenti saling melempar tuduhan “Golongan Sesat” atau “Ahli Bid’ah” antara satu terhadap yang lainnya.
Note Kesepakatan
Namun demikian, walau pun kedua golongan besar ini berselisih dan berbeda pendapat, namun pada hakikatnya mereka bersepakat bahwa Syirik adalah Dosa yang sangat besar dan Bid’ah adalah satu hal yang teramat mengerikan, dan mereka menyadari bahwa tidak ada Ulama yang luput dari kekeliruan dan kesalahan.
Ada baiknya di sini kita mengingat kembali ucapan Imam Malik yang sangat Masyhur yang maksudnya: “Setiap ucapan memiliki sifat dasar bisa diterima dan juga bisa ditolak kecuali Ucapan Sabda pemilik Kuburan Itu”.