Tiga Hal Ini Penyebab NU dan Wahhabi Tak Bisa Bersatu

Sudah lumrah diketahui khalayak, dan kini telah menjadi kian biasa terdengar oleh kita, sebutan NU dan Wahhabi. Kedua lebel atau atribut ini walau pun tidak benar secara Syar’i dijadikan sebagai bahan Tanabuz Bil Alqab (saling menjuluki dengan keburukan), namun sudah sangat menjadi penomenal di masyarakat  dan kian mengacu ke arah perpecahan.

Perpecahan itu pelak tak bisa dihindari, perebutan status hakiki sebagai ASWAJA pun kian memanas, mulai dari debat ilmiyyah sampai debat kusir telah banyak dihelat, baik secara bermajelis atau pun melalui medsos.

Lalu apakah sebenarnya inti dasar yang menjadi penyebab hal tersebut terjadi, di sini penulis – Semoga Allah mengampuni dan memberinya Hidayah – mencoba menyimpulkannya sesuai dengan keterbatasan yang ada.

  1. Tauhid Rububiyyah tidak cukup sebagai menjadikan seseeorang bertauhid dengan baik dan benar selama tidak mengamalkan mentauhidkan Allah dalam perkara Uluhiyyah.

Persoalan ini adalah dasar yang paling utama dibalik perseteruan yang terjadi anatara NU dan Wahhabi, perseteruan ini pun tak bisa terhindar dari terseretnya nama beberapa tokoh besar Islam, di antaranya Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab – Rahimahumallah – sebagaimana yang akan kami sebutkan setelah ini.

Wahhabi dengan mantap memandang bahwa Tauhid Rububiyyah bukanlah kunci dari sempurnanya ketauhidan seseorang, selama dia belum mentauhidkan Allah dalam Uluhiyyah maka orang tersebut adalah Jahiliyyah dan imannya sama dengan jenis imannya Abu Lahab. Sementara NU yang merupakan wujud dari perpanjangan madrasah Madzhab Syafi’iyyah dan Asya’irah – menurut klaim mereka – menentang hal tersebut dengan begitu keras, sehingga pendahulu mereka Sayyid Dahlan (mufti Mekkah di zamannya) menulis secara khusus untuk mendobrak konsep yang dipandang hak oleh Wahhabi. Di situlah perang telah lama berkecamuk.

Selama persoalan dasar ini tidak menemukan titik temu kesepahaman maka kedua pihak baik NU atau pun Wahhabi tidak akan pernah berhenti saling melempar tuduhan “Golongan Sesat” atau “Ahli Bid’ah” antara satu terhadap yang lainnya.

  1. Bid’ah Hasanah

Persoalan ini adalah dasar yang paling utama – setelah yang pertama di atas –  dibalik perseteruan yang terjadi anatara NU dan Wahhabi, perseteruan ini pun tak bisa terhindar dari terseretnya nama beberapa tokoh besar Islam, di antaranya Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab sebagaimana yang akan kami sebutkan setelah ini.

Wahhabi dengan mantap memandang bahwa tidak ada Bid’ah Hasanah dalam Islam, semua Bid’ah Sesat dan harus diingkari sebab dia lebih berbahaya dari dosa besar.

Sementara NU yang merupakan wujud dari perpanjangan madrasah Madzhab Syafi’iyyah dan Asya’irah – menurut klaim mereka – menentang hal tersebut dengan begitu keras, sehingga banyaklah tulisan yang ditulis secara khusus untuk mendobrak konsep yang dipandang hak oleh Wahhabi. Di situlah perang telah lama berkecamuk.

Selama persoalan dasar kedua ini tidak menemukan titik temu kesepahaman maka kedua pihak baik NU atau pun Wahhabi tidak akan pernah berhenti saling melempar tuduhan “Golongan Sesat” atau “Ahli Bid’ah” antara satu terhadap yang lainnya.

  1. Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab

Nama kedua tokoh besar ini muncul ke masyarakat sebagai imbas yang paling utama dari perbedaan pendapat yang pertama dan kedua di atas.

Wahhabi dengan mantap memandang bahwa kedua tokoh tersebut adalah sang pencerah Islam di eranya masing-masing dan sangat layak diterima pendapatnya selama tidak menyalahi Ijma’ dan dalil. namun kadang yang terjadi oleh sebagian person Wahhabi menjadi seolah semua pendapat harus ditimbang dengan kedua tokoh tersebut dan akhirnya tidak sedikit pendapat yang muncul selain dari kedua tokoh tersebut menjadi tertolak dan bahkan tak layak untuk didiskusikan, (tentunya ini dalam beberapa persoalan saja tidak semuanya.)

Sementara NU yang merupakan wujud dari perpanjangan madrasah Madzhab Syafi’iyyah dan Asya’irah – ini menurut klaim mereka – menentang hal tersebut dengan begitu keras, sehingga banyaklah tulisan yang ditulis secara khusus untuk meruntuhkan pendapat-pendapat kedua tokoh tersebut. namun kadang yang terjadi oleh sebagian oknum NU adalah tidak sedikit kebenaran mereka tolak apabila arah anginnya berasal dari Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin Abdil Wahhaab. Maka di situlah perang telah lama berkecamuk.

Selama persoalan ini tidak menemukan titik temu kesepahaman maka kedua pihak baik NU atau pun Wahhabi tidak akan pernah berhenti saling melempar tuduhan “Golongan Sesat” atau “Ahli Bid’ah” antara satu terhadap yang lainnya.

Note Kesepakatan 

Namun demikian, walau pun kedua golongan besar ini berselisih dan berbeda pendapat, namun pada hakikatnya mereka bersepakat bahwa Syirik adalah Dosa yang sangat besar dan Bid’ah adalah satu hal yang teramat mengerikan, dan mereka menyadari bahwa tidak ada Ulama yang luput dari kekeliruan dan kesalahan.

Ada baiknya di sini kita mengingat kembali ucapan Imam Malik yang sangat Masyhur yang maksudnya: “Setiap ucapan memiliki sifat dasar bisa diterima dan juga bisa ditolak kecuali Ucapan Sabda pemilik Kuburan Itu”.

Kyai Idrus Ramli Mengakui Pembagian Tauhid Menjadi Tiga

Niatnya hendak membantah pembagian Tauhid menjadi tiga, namun justru akhirnya secara tidak sadar dia telah menetapkan Iqtibas Imam Syafi’i tersebut adalah dalil atas ketetapan Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ Wash-Shifat.

Mari coba kita singkap keterpaksaan yang dibuat-buat oleh kyai yang satu ini yang telah dia posting melalui akun jejaring sosial Facebooknya.

Katanya : SUNNI: Kutipan dari Imam al-Syafi’i di atas justru bertentangan dengan tauhid tiga wahabi yang Anda bawakan. Anda juga telah mentahrif (melakukan distorsi) terhadap pernyataan Imam al-Syafi’i di atas. Berikut kami jelaskan bukti-bukti kesalahan Anda yang fatal dalam mengartikan perkataan Imam al-Syafi’i di atas.

Pertama, Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata:

اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلاَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّوْرَ

“Segala puji hanya bagi Allah yang menciptakan langit-langit dan bumi, dan menjadikan kegelapan dan cahaya”

Sebagaimana dimaklumi, perkataan al-Imam al-Syafi’i di atas adalah iqtibas (petikan) dari ayat al-Qur’an Surah al-An’am. Dalam ayat di atas, lafal Allah, yang berarti Uluhiyyah, dikaitkan dengan penciptaan langit-langit, bumi, kegelapan dan cahaya. Dengan demikian, seharusnya ayat tersebut dikaitkan dengan tauhid uluhiyyah, agar selaras dengan lafal Allah. Tetapi Anda dengan semborononya mengaitkannya dengan tauhid rububiyyah. Ini jelas kesalahan fatal.

Saya : dalam paragraf di atas Kyai Idrus mengakui dan menetapkan bahwa ada Tauhid yang disebut dengan tauhid Uluhiyyah, perhatikan ucapannya : “seharusnya ayat tersebut dikaitkan dengan tauhid uluhiyyah, agar selaras dengan lafal Allah”

Saya ucapkan Ahlan Wasahlan pak kyai telah mengakui adanya tauhid Uluhiyyah.

Katanya: Kedua, Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata:

ثُمَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُوْنَ

“kemudian orang-orang kafir menyimpang”

Terjemahan Anda terhadap ayat tersebut adalah tidak benar. Para ulama menerjemahkan ayat tersebut dengan:

“namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.”

Jadi lafal ya’diluun, oleh para ulama diartikan mempersekutukan dan menyamakan Tuhan dengan selain Tuhan, bukan diartikan menyimpang.

Dalam ayat tersebut, lafal rabbihim, yang berarti rububiyyah, dikaitkan dengan kemusyrikan orang-orang kafir. Dengan demikian, seharusnya, kalau Anda sebagai Wahabi konsisten dengan kalimat di atas, ayat tersebut berkaitan dengan tauhid rububiyyah, bukan uluhiyyah, agar selaras dengan lafal rabbihim dalam ayat tersebut. Tetapi Anda, justru memahaminya sebagai tauhid uluhiyyah. Jadi Anda membolak-balik pernyataan ulama selevel Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu, agar sesuai dengan pembagian tauhid Wahabi.

Dan apabila Anda konsisten mengikuti pernyataan Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu secara benar, maka batallah pembagian tauhid menjadi tiga ala wahabi yang Anda sebarkan. Dan nyatalah kebohongan Anda kepada umat Islam.

Saya: Dalam paragraf ini kyai Idrus secara teliti telah menetapkan bahwa Tauhid Rububiyyah itu ada, perhatikan ucapannya di atas yang berbunyi : “Dalam ayat tersebut, lafal rabbihim, yang berarti rububiyyah, dikaitkan dengan kemusyrikan orang-orang kafir. Dengan demikian, seharusnya, kalau Anda sebagai Wahabi konsisten dengan kalimat di atas, ayat tersebut berkaitan dengan tauhid rububiyyah.”

Saya Ucapkan Ahlan Wasahlan kepada Kyai Idrus yang telah memperlihatkan isi hatinya dan akhirnya mengakui bahwa tauhid Rububiyya itu ada.

Terserah pak kyai saja, mau menjadikan penggalan Ayat pertama sebagai Tauhid Uluhiyyah dan yang kedua sebagai dalil Tauhid Rububiyyah, tidak masalah, sebab yang penting adalah kyai mengakui kebenaran adanya kedua konsep tauhid tersebut.

Katanya: Ketiga, Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata:

وَلاَ يَبْلُغُ الْوَاصِفُوْنَ كُنْهَ عَظَمَتِهِ الَّذِيْ هُوَ كَمَا وَصَفَ نَفْسَهُ وَفَوْقَ مَا يَصِفُهُ بِهِ خَلْقُهُ

“Dan orang-orang yang menyifatkan hakikat keagungan-Nya tidak akan bisa sampai seperti apa yang Dia sifatkan pada diri-Nya dan lebih dari apa yang disifatkan oleh makhluk-Nya.”

Fragmen tersebut sebenarnya memberikan pengertian bahwa al-Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu beri’tiqad bahwa Allah subhanahu wa ta’ala bukan benda yang tersusun (jisim) dan bukan pula menetap pada suatu arah. Karena seandainya Allah itu berupa benda atau menetap pada suatu arah, tentu orang-orang yang menyifati-Nya akan bisa sampai pada hakikat keagungan-Nya. Ternyata di sini Imam al-Syafi’i, menegaskan bahwa orang-orang yang menyifati-Nya tidak akan sampai pada hakikat keagungan-Nya, sebagaimana Dia menyifati diri-Nya, dan lebih dari apa yang disifatkan oleh makhluk-Nya. Pernyataan tersebut sekaligus membatalkan terhadap konsep akidah Wahabi yang meyakini bahwa Tuhan bertempat di Arasy, dan bentuknya seperti seorang laki-laki yang masih muda dan tanpa jenggot. Allah Maha Suci dari menyerupai apapun. Para ulama salaf berkata:

كُلُّ مَا خَطَرَ بِبَالِكَ فَاللهُ لَيْسَ كَذَلِكَ

Setiap apa yang terlintas dalam pikiranmu, maka Allah tidak seperti itu.

Keyakinan bahwa wujudnya Allah tanpa tempat dan arah, adalah kesepakatan Ahlussunnah Wal-Jama’ah sejak generasi salaf yang saleh. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh seorang ulama salaf, yaitu al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi dalam al-‘Aqidah al-Thahawiyyah:

تَعَالَى (يَعْنِىْ اللهُ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَالْغَايَاتِ وَاْلأَرْكَانِ وَاْلأَدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ.

Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, sehingga Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti tangan, wajah dan anggota badan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya), Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang), tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut. (Al-‘Aqidah al-Thahawiyyah).

Pernyataan al-Imam al-Thahawi tersebut merupakan ijma’ (konsensus) para sahabat dan ulama salaf yang saleh, karena al-Imam al-Thahawi menulis kitabnya, al-‘Aqidah al-Thahawiyyah sebagai rangkuman dari akidah-akidah yang menjadi keyakinan seluruh sahabat dan ulama salaf yang saleh. Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi juga mengatakan:

وَأَجْمَعُوْا عَلىَ أَنَّهُ لاَ يَحْوِيْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِيْ عَلَيْهِ زَمَانٌ.

Ahlussunnah Wal-Jama’ah juga bersepakat, bahwa Allah itu tidak diliputi oleh tempat dan tidak dilalui oleh zaman. (Abu Manshur Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi, al-Farq baina al-Firaq, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tanpa tahun, hlm. 256).

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Imam al-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu tidak berakidah seperti Wahabi, yang membagi tauhid menjadi tiga, rububiyyah, uhuliyyah dan asma’ wa shifat.

Saya : adapun paragraf yang ini, di sini Kyai Idrus telah menjelaskan dengan rinci bagaimana cara beriman terhadap Shifat Allah, dan ini menunjukkan penetapannya secara tak langsung atas perkataan Imam Syafi’i akan ketetapan adanya tauhid Asma’ Wash-Shifat.

Saya ucapkan Jazakallahu Khairo atas kyai Idrus yang telah mengakui konsistensi pembagian tauhid menjadi Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah dan Tauhid Asma’ Wash-Shifat yang memang telah benar-benar telah diisyaratkan oleh Imam Syaf’i.