Jika Shahih Haditsnya, Ikutilah

jejak2-kaki

Catatan ini adalah secuil pendapat saja atas dua judul tulisan Ustadz Ahmad Sarawat Lc,MA. Yang dimuat di rumahfiqih.com, penulis melihat penting untuk meluruskan yang kurang tepat di dalam tulisan tersebut dengan tujuan agar orang-orang tidak terperdaya dengannya, sebab sesungguhnya bermadzhab tidklah tercela, yang tercela adalah meninggalkan beramal dengan Hadits hanya karena pendapat yang tidak didasari oleh Hadits.

Catatan ini saya rangkai dalam bentuk komentar di bawah beberapa point tulisan Ustadz Ahmad Sarawat Lc.MA, semoga bermanfaat.

  1. Benarkah Hadits Shahih Belum Tentu Bisa Dipakai?

Ustadz Ahmad berkata: Walhasil, setidaknya dari situ kita tahu bahwa tidak mentang-mentang ada fatwa bahwa suatu hadits itu shahih, lantas kita langsung menelan bulat-bulat, bahkan dijadikan dalil. Kita perlu melakukan penelitian secara lebih jauh, apakah vonis shahih itu masih merupakan pendapat orang per-orang atau sudah seluruh ulama menyepakatinya?

Penulis : Vonis Shahih dari seorang Imam Ahli Hadits atas satu Hadits mewajibkan dirinya untuk beramal dengan Vonis tersebut, sebab itulah yang benar menurut Ijtihadnya, sebagai contoh :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «يَجْهَرُ بِبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ» . قال الحاكم : «قَدِ احْتَجَّ الْبُخَارِيُّ بِسَالِمٍ هَذَا وَهُوَ ابْنُ عَجْلَانَ الْأَفْطَسُ، وَاحْتَجَّ مُسْلِمٌ بِشَرِيكٍ، وَهَذَا إِسْنَادٌ صَحِيحٌ وَلَيْسَ لَهُ عِلَّةٌ وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ» .

 

Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adanya adalah mebaca dengan jelas (tidak berbisik) Bismillahir Rahmanir Rahiim. || Albukhari telah berhujjah dengan Salim ini, dan dia adalah ibnu ‘Ajlan Al-Afthas, dan Muslim telah berhujjah dengan Syarik, dan Hadits ini Isnadnya Shahih tidak ada ‘illah padanya dan keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengeluarkannya (dalam kitab Shahih mereka masing-masing).

Maka Imam Hakim adalah Imam yang bermadzhab akan Sunnahnya membaca Basmalah dengan suara lantang dalam Shalat berdasarkan Ijtihad beliau yang telah sampai pada menShahihkan Hadits ini karena tidak sah seorang imam Mujtahid bertaqlid kepada ijtihad Tash-hih Imam yang lain, dan hal ini adalah persoalan yang telah diketahui di kalangan Ulama Ushul.

Dengan begitu, maka hadits Shahih yang dinilai Shahih oleh perorangan bisa menjadi dalil dan bahkan bisa dipertimbangkan sebagai pelengkap terbangunnya satu hukum jika di situ terdapat perbedaan pendapat, dan orang yang menelan mentah-mentah Hadits Shahih lebih baik dari pada orang yang menelan mentah-mentah Fatwa yang tak disertakan Hadits Shahih selama masalah tersebut tidak berada di dalam Ranah Ijma’.

Meneliti lebih jauh keberadaan satu Hadits nampaknya tidak perlu dilakukan oleh Ustadz Ahmad Sarawat, kalau pun akan dilakukannya maka belum tentu akan diperhitungkan oleh Ulama, sebab dalam tulisan lainnya ia mengesankan bahwa peneliti-peneliti Hadits saat ini adalah peneliti Rendahan, semoga yang beliau maksud bukanlah Syaikh Al-Albani.

Penting diingat, pembahasan ini adalah sebatas Hadits Shahih, bukan masalah lainnya seperti Marotibuttarjih dan lainnya.

 

  1. Benarkah Keshahihan Shahih Hanya Sebuah Produk Ijtihad?

 

Ustadz Ahmad berkata: Masalah keshahihan hadits ini memang banyak orang yang terkecoh, karena kurang mengerti dan belum memahami apa yang dimaksud dengan hadits shahih.

Penulis: Sepertinya Hadits Shahih telah didefinisikan secara baku oleh para Ulama, dan dari definsi (Al-Hadd) tersebut lah para peneliti Hadits – termasuk Al-Albani – menimbang dan mengukur, membedakan dan menetapkan status satu Hadits.

Ustadz Ahmad berkata : Banyak yang berpikir bahwa keshahihan suatu hadits itu adalah wahyu yang turun dari langit. Banyak orang awam yang belum pernah belajar ilmu hadits berimajinasi seolah-olah keshahihan hadits merupakan wangsit khusus yang diberikan kepada tokoh-tokoh tertentu secara ghaib. Seolah-olah informasi keshahihan hadits itu secara khusus Allah anugerahkan kepada sosok tertentu, rada mirip-mirip dengan sosok imam mahdi di akhir zaman.

Penulis: ini agak berlebih (Lebay) silahkan saja buktikan siapa dan dimana orang-orang tersebut dengan sifat-sifat yang dipaparkan.


Ustadz Ahmad berkata : Tetapi menjadi keliru sekali ketika kita mengandalkan keshahihan hadits Bukhari dan Muslim sebagai satu-satunya rujukan dalam masalah agama. Mengapa? Karena selain hasil ijtihad keduanya, masih ada ribuan peneliti dan ahli hadits lain yang juga melakukan penelitian. Dan tidak sedikit yang kualitasnya malah lebih tinggi dari apa yang diijtihadkan oleh keduanya.

Penulis: Telah bersepakat para Ulama Hadits dan Ushul, bahwa Hadits Ahaad yang paling tinggi kualitasnya berada di dalam Shahih Bukhari dan Muslim, siapa pun yang memungkiri hal ini maka dia Syadz, Ijtihad yang dilakukan oleh Imam Bukhari dan Muslim bukan sekedar ijtihad akan tetapi kedua kitab ini telah mendapatkan penerimaan di kalangan Ahli Ilmu sedunia semenjak keduanya telah muncul hingga sampai hari ini, penerimaan dalam arti bahwa semua yang ada di dalamnya sah sebagai Hujjah, Sah sebagai Hujjah di sini maksudnya jika ada yang berdalil dengannya maka sangat layak dipertimbangkan, adapun perkataan yang ustadz Ahmad tuliskan bahwa “menjadi keliru sekali ketika kita mengandalkan keshahihan hadits Bukhari dan Muslim sebagai satu-satunya rujukan dalam masalah agama” tidaklah tepat sepenuhnya, – disini kita tidak membahas jenis-jenis Hujjah yang Empat, Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas – justru mengandalkan Keshahihan Bukhari Muslim adalah metode Tarjih yang bisa ditempuh dalam menuntut Tarjih, namun jika yang dikehendaki dengan perkataan tersebut adalah menafikan Kitab-kitab Hadits lainnya sebagai sumber Agama, kita sepakat itu tidak benar.
Ustadz Ahmad berkata : Memang ada sementara tokoh saking antipatinya dengan mazhab fiqih, lalu mengarang-ngarang sebuah nama mazhab imaginer baru yang tidak pernah ada bukti kongkritnya dalam sejarah. Mereka sebut mazhab ‘ahli hadits’. Dari namanya saja sudah bermasalah. Dikesankan seolah-olah yang tidak bermazhab ahli hadits berarti tidak menggunakan hadits dalam mazhabnya. Padahal mazhab ahli hadits itu adalah mazhab para ulama peneliti hadits untuk mengetahui keshahihan hadits dan bukan dalam menarik kesimpulan hukum (istimbath).

Penulis: Madzhab Imaginer, inilah yang lahir jika yang dikandung adalah buruk sangka terhadap Ulama, Madzhab Ahli Hadits itu benar adanya, kongkrit buktinya hanya saja Ustadz Ahmad terlalu bernafsu ingin membatasi bahwa Madzhab itu hanya Empat, yang lain adalah sempalan dan ini terlihat jelas dalam tulisannya “Adakah Madzhab Salaf” yang sangat jauh dari Inshaf dan Adab kepada Ulama, Sebelum Imam Madzhab yang Empat terlahir, pada masa itu, Madzhab apakah yang dijadikan Madrasah Fiqih? Jawaban yang akan muncul, maka itulah Hakikat Madzhab Salaf.

Adapun Madzhab Ahli Hadits, tidak ada yang bermasalah di situ dan tidak ada Ulama yang mempermasalahkannya dari sebelumnya kecuali Ustadz Ahmad, dari itu banyak kita temukan para Ulama menyebutkan nama Madzhab Ahlul Hadits saat memaparkan suatu Khilaf tertentu, sebagai salah satu contoh Imam Ahmad berkata : – mengomentari Hadits tentang Firqoh Najiyah –

إِنْ لَمْ يَكُونُوا أَهْلَ الْحَدِيثِ فَلَا أَدْرِي مَنْ هُمْ

Kalau mereka bukan Ahli Hadits maka saya tidak mengetahui siapakah mereka

 قَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ إِنَّمَا أَرَادَ أَحْمَدُ أَهْلَ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ وَمَنْ يَعْتَقِدُ مَذْهَبَ أَهْلِ الْحَدِيثِ

Qadhi Iyadh berkata: Imam Ahmad mengehendaki dengan ucapannya ini Ahlussunnah Wal Jamaah dan siapa saja yang beraqidah dengan Madzhab Ahlul Hadits.

Namun yang anehnya lagi, dalam paragraf yang sama, Ustadz Ahmad malah mengakui keberadaan madzhab Ahlul hadits walaupun sebatas lingkup peneliti hadits, bacalah: “Padahal mazhab ahli hadits itu adalah mazhab para ulama peneliti hadits untuk mengetahui keshahihan hadits”, baru saja dia mengatakannya Imaginer dan tak terbukti ada secara kongkrit lalu beberapa menit ia menariknya kembali.

Tidak ada penuntut ilmu yang telah faham menjadi terkesan bahwa penamaan Ahlul Hadits akan menimbulkan kesan seperti apa yang disebutkan oleh Ustadz Ahmad: “Dikesankan seolah-olah yang tidak bermazhab ahli hadits berarti tidak menggunakan hadits dalam mazhabnya.”, bahkan orang awampun tidak sama sekali akan terkesan demikian, justru malah sekarang Ustadz Ahmad hendak membangun opini dan kesan kepada pembaca setianya bahwa Ahlul Hadits yang notabene adalah Ulama Hadits tidak pandai Fiqh, yang mereka ketahui hanyalah tentang Sanad saja. Subhanaka Hadza Buhtanun Adhim.

Ustadz Ahmad berkata : Kalaulah benar pernah ada mazhab ahli hadits yang berfungsi sebagai metodologi istimbath hukum, lalu mana ushul fiqihnya? Mana kaidah-kaidah yang digunakan dalam mengistimbath hukum? Apakah cuma sekedar menggunakan sistem gugur, bila ada dua hadits, yang satu kalah shahih dengan yang lain, maka yang kalah dibuang?

Penulis: apakah penting gitu, Ahlul Hadits melapor menyerahkan hujjahnya kepada Ustadz Ahmad ? kalau tidak Shahih, maka Hadits yang Shahihlah yang diambil, apakah Ustadz Ahmad menghendaki cara yang sebaliknya?

Wahai saudaraku yang mulia, Ushul Fiqh dan kaidah-kaidah yang ada di dalamnya juga adalah hasil Ijtihad, sehingga ada juga Khilaf di dalamnya antara manakah yang boleh dijadikan sebagai Hujjah dalam Istinbath dan mana yang tidak, maka pertanyaan di atas lebih ke arah mengada-ada saja, tidak ada kewajiban atas muslim mentaati pendapat seseorang kecuali Sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.
Ustadz Ahmad berkata :  Orang-orang awam yang kurang ilmu itu dengan seenaknya menyelewengkan ungkapan para imam mazhab itu dari maksud aslinya : “Bila suatu hadits itu shahih, maka itulah mazhabku”. Kesannya, para imam mazhab itu bodoh dengan keshahihan hadits, lalu menggantungkan mazhabnya kepada orang-orang yang hidup dua tiga abad sesudahnya.

Padahal maksudnya bukan begitu. Para ulama mazhab itu menolak suatu pendapat, karena menurut mereka hadits yang mendasarinya itu tidak shahih. Maka pendapat itu mereka tolak sambil berkata,”Kalau hadits itu shahih, pasti saya pun akan menerima pendapat itu. Tetapi berhubung hadits itu tidak shahih menurut saya, maka saya tidak menerima pendapat itu”.  Yang bicara bahwa hadits itu tidak shahih adalah profesor ahli hadits, yaitu para imam mazhab sendiri. Maka wajar kalau mereka menolaknya.

Penulis: Apakah Imam Syafi’i telah sampai kepadanya semua Hadits Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dari A-Z?  jawabannya adalah tidak. Apakah Kitab Al-Muwatha’ Malik telah mencakup semua Hadits Nabi seluruhnya dari A-Z ? jawabannya tidak.

Jadi ini bukan masalah apakah beliau menshahihkan atau tidak satu Hadits tapi masalah belum sampainya Hadits kepada para Imam Madzhab sehingga mereka berkata “Bila suatu hadits itu shahih, maka itulah mazhabku” sebab dilain tempat ada beberapa Hadits yang belum sampai ke pangkuan beliau para imam Madzhab sehingga mereka menyerahkan permasalahannya ke Hadits, bukan seperti yang dikatakan ustadz Ahmad yang sangat mengelabui “Kesannya, para imam mazhab itu bodoh dengan keshahihan hadits, lalu menggantungkan mazhabnya kepada orang-orang yang hidup dua tiga abad sesudahnya.”.

Ustadz Ahmad berkata :  Tetapi lihat pengelabuhan dan penyesatan dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif. Digambarkan seolah-olah seorang Imam Asy-Syafi’i itu tokoh idiot yang tidak mampu melakukan penelitian hadits sendiri, lalu kebingungan dan menyerah menutup mukanya sambil bilang,”Saya punya mazhab tapi saya tidak tahu haditsnya shahih apa tidak, jadi kita tunggu saja nanti kalau-kalau ada orang yang ahli dalam bidang hadits. Nah, mazhab saya terserah kepada ahli hadits itu nanti ya”.

Dalam hayalan mereka, para imam mazhab berubah jadi badut pandir yang tolol dan bloon. Bisanya bikin mazhab tapi tidak tahu hadits shahih. Sekedar meneliti hadits apakah shahih atau tidak, mereka tidak tahu. Dan lebih pintar orang di zaman kita sekarang, cukup masuk perpustakaan dan tiba-tiba bisa mengalahkan imam mazhab.

Penulis : Sekali lagi, : Apakah Imam Syafi’i telah sampai kepadanya semua Hadits Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dari A-Z?  jawabannya adalah tidak. Apakah Kitab Al-Muwatha’ Malik telah mencakup semua Hadits Nabi seluruhnya dari A-Z ? jawabannya tidak.

Ustadz Ahmad, Jadi ini bukan masalah apakah beliau Imam Syafi’i dan lainnya menshahihkan atau tidaknya satu Hadits, akan tetapi masalah apakah sampai atau tidaknya Hadits kepada para Imam Madzhab sehingga mereka berkata “Bila suatu hadits itu shahih, maka itulah mazhabku” sebab dilain tempat ada beberapa Hadits yang belum sampai ke pangkuan beliau para imam Madzhab sehingga mereka menyerahkan permasalahannya ke Hadits.

Jika ini bisa diterima dan difahami dengan baik, maka Insyallah tidak perlu kita jor-joran menampakkan ke-buruk sangka-an terhadap penuntut ilmu dan Ulama.

Imam Syafi’i berkata:

: أجمع الناس على أنه من استبانت له سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يكن له أن يدعها لقول أحد.

Manusia telah bersepakat atas sesunguhnya siapa saja yang keberadaan Sunnah rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah menjadi jelas baginya, maka tidaklah seyogyanya dia meninggalkannya karena ucapan seseorang.

Beliau juga berkata:

: كل مسألة صح فيها الخبر عن رسول الله صلى الله عليه وسلم عند أهل النقل بخلاف ما قلت فأنا راجع عنها في حياتي وبعد مماتي.

Setiap persoalan yang telah benar suatu Khabar dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam di dalamnya di sisi Ahli Riwayat menyelisihi apa yang aku katakan, maka aku meralat ucapanku dari sejak aku hidup sampai setelah kematianku.

demikian yang dapat penulis sampaikan semata-mata sebagai usaha Tanashuh, dan semoga bisa diterima. Amiin.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى أله وأصحابه أجمعين

Datang Bulan Lebih Dari Biasanya, Apakah Itu Haidh?

Postingan kali ini saya peruntukkan bagi para suami yang mungkin belum mengetahui sehingga bisa membimbing Istrinya, dan bagi para wanita agar lebih memperhatikan Agamanya.

Apabila darah Haidh terus ada pada seorang wanita melebihi waktu batas kebiasaannya, apakah yang akan dia lakukan?

Misalnya seorang wanita  biasanya Haidh selama Enam hari dalam sebulan, lalu pada satu bulan berikutnya Haidhnya bertambah menjadi Tujuh hari, Delapan atau bahkan Sampai Sepuluh Hari, apakah yang harus dia lakukan ?

Jawaban.

Wanita pada umumnya tidak terlepas dari dua keadaan,

1. Wanita yang bisa membedakan antara Haidh dengan darah yang bukan Haidh.

Apabila seperti ini, maka yang dilakukan adalah melihat sifat darah yang keluar – setelah lewat dari batas waktu kebiasaanya – tersebut, jika terdapat ciri ciri Haidh dalam darah tersebut maka hendaklah dia tetap tidak mendirikan Shalat, tidak berpuasa dan tidak melakukan hubungan intim suami istri. Karena tidak ada batasan waktu tertentu yang pasti dalam banyaknya masa waktu Haidh, pendapat ini – Tidak ada batasan waktu tertentu dalam masa Haidh namun dikembalikan kepada kebiasaan masing-masing wanita – dipilih oleh Syaikhul Islam ibn Taimiyyah Rahimahullah.

Ciri ciri darah Haidh sendiri disebutkan dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasa’i dari Aisyah Radhiyallahu Anha :

ان دم الحيض دم أسود يعرف

Sesungguhnya darah Haidh adalah darah hitam yang beraroma. (Sebagian pensyarah Hadits ini memaknai kata Yu’raf dengan: diketahui oleh para wanita).

Hadits ini Shahihkan oleh Ibnu Hibban dan Imam Hakim dan dinilai Hasan oleh Syaikh Al-albani.

Namun apabila tidak terdapat ciri-ciri Haid dari darah yang keluar setelah lewat dari waktu kebiasaan Haidnya maka wanita tersebut wajib mandi dan kembali mendirikan Shalat.

2. Wanita yang tidak bisa membedakan antara darah Haidh atau bukan. (Dan ini terjadi dikalangan sebagian wanita)

Maka yang mesti dia lakukan ialah tetap tidak Shalat dan tidak juga puasa dan tidak boleh berhubungan intim sampai benar-benar darahnya kering atau sampai benar benar dia telah suci, karena tidak ada batasan waktu terbanyak secara pasti untuk masa Haid.

Lalu apa sajakah ciri-ciri Haidh berlalu?

Sucinya seorang wanita atau berlalunya Haidh diketahui dengan dua ciri,

1. Terhentinya darah.  ||  2. Cairan Kekuning kuningan dan warna keruh.

Dan kedua ciri ini bisa dibuktikan kebenarannya dengan dua hal,

1. Kering || dan ini bisa diketahui dengan melihat pembalut yang dipakai.

2. Al-Qashhatul Baidho ||  yaitu cairan bening yang keluar dari rahim ketika darah telah terhenti.

Ada riwayat yang mendukung hal ini, dari Maulaat (mantan budak yang dimerdekakan) Aisyah Radhiyallahu Anhuma, bahwa dulu para wanita mendatangi Ummul Mukminin Aisyah dengan membawa robekan kain – yang terdapat padanya kapas – yang telah ternodai oleh warna kuning bekas darah Haidh, mereka menanyakan beliau tentang apakah sudah boleh Sholat atau tidak, maka beliau menjawab :

لاتعجلن حتى ترين القصة البيضاء

Kalian jangan tergesa-gesa (mendirikan Shalat dulu) sampai kalian melihat Qashhatul Baidha’ .

Maksud beliau adalah sampai kalian betul-betul suci dari Haidh.

Khabar ini diriwayatkan oleh Imam Malik, imam Bukhari secara Mu’allaq, dan oleh Abdurrozzaq, memiliki Syahid dari Addarimi dan Al-Baihaqi.

Diintisari dengan sedikit tambahan dari kitab Shahih Fiqh Sunnah karya Abu Malik Kamal bin Assayyid Salim.

Tiga Pertanyaan Tentang Homoseksual

detail_roniegraphy_20120223161834_JERUK FG

  1. Benarkah Homo disebut penyakit secara medis?

Penyakit secara medis yang menimpa seseorang tidak sah dikatakan sebagai pendosa dan bersalah karena sebab penyakit tersebut, justru penyakit atas orang yang muslim adalah penggugur atas dosa-dosanya, dari  itulah tidak benar jika dikatakan bahwa paedofil dan homo atau lesbi adalah penyakit.

Namun lebih tepat dikatakan sebagai penyakit hati yang timbul karena dorongan hawa nafsu dan birahi kesetanan.

  1. Apakah homo bisa menimpa semua orang, ataukah hanya orang-orang tertentu saja?

Maksiat ini bisa menimpa siapa saja tanpa terkecuali, dan inilah hikmah dari Ayat dalam Al-quran yang menceritakan kepada manusia kedurhakaan kaum Nabi luth Alaihissalam,

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا    مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ (80) إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ

Dalam Ayat ini Allah menyebut prilaku Homo sebagai Faahisyah yaitu satu sebutan yang sama dengan dengan Zina, dan ini menandakan bahwa prilaku homo bisa menimpa siapa saja layaknya zina bisa menimpa siapa saja. (wal’Iyaadzu billah).

Sehingga para Ulama telah mewanti-wanti kita agar menundukkan pandangan dari Amrodul Hasan (anak kecil yang berparas ganteng), Imam An-Nawawi dalam Riyadhus Shalihin memberikan judul dalam sebuah Bab :

باب تحريم النظر إلى المرأة الأجنبية والأمرد الحسن لغير حاجة شرعية

Bab: pengharaman melihat ke wanita Ajnabiyyah (bukan Mahram) dan ke Amradul Hasan) tanpa ada keperluan yang Syar’i.

Maka sangat tidak tepat dan benar ucapan orang-orang yang mengatakan bahwa Maksiat ini hanya menimpa orang tertentu saja.

  1. Sulitkah untuk bertaubat (berhenti) dari maksiat Homo ini?

Manusia memiliki Fitrah yang sangat cepat kembali kepada islam dan kebaikan sebab mereka diciptakan Allah pada dasarnya dalam keadaan fitrah yang siap menerima islam.

Jika ada yang tertimpa oleh Maksiat keji ini maka jalan agar bisa berhenti darinya ialah dengan menikahi wanita dengan Syar’i, dan cara ini telah disebutkan oleh Allah dalam Al-qur’an :

قَالَ يَا قَوْمِ هَؤُلَاءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ

“Berkata Luth Alaihis Salam wahai kaumku mereka ini adalah putri-putriku, mereka lebih suci untuk kalian”

Nabi luth Alaihissalam menawarkan kaumnya yang homo agar menikahi putri-putri beliau sebagai jalan keluar dari maksiat yang keji ini, lalu mengapakah orang-orang itu menjadi bingung mencari penawar maksiat ini? Tidakkah mereka membaca Al-qur’an !?

Penutup.

Membiarkan bencong bencong beraksi tanpa ada Nahi Mungkar berarti kita membuka celah berkembangnya maksiat ini, begitu juga dengan membiarkan karakter-karakter bencong yang diperankan oleh sebagian manusia penghibur. Dari itu hendaklah kita tegas dan terus berdakwah dan tak lupa selalu waspada kepada anak-anak kita agar tidak terpengaruh oleh hal-hal buruk di atas, semoga Allah memperbaiki keadaan ummat islam di bangsa ini.